Jumat, 29 Januari 2016

shock therapy ....

puanass tenan.....
jam 14.15 wib sekarang...

Hari ini menjadi berbeda untuk saya...
Seperti biasa, setiap sabtu saya mengajar di salah satu SMP di Jogja. Tapi tidak seperti biasanya, hari ini, saya bersama seorang teman saya diminta untuk memberikan sedikit permenungan untuk salah satu kelas 7, yang terkenal sangat ramai dan susah diatur. Kami berdua belum bisa membayangkan apa yang akan kami lakukan dan apa yang akan terjadi. Kami hanya membuat skenario kecil untuk menyadarkan mereka. 
Ketika saya masuk kelas tersebut, suasana terlihat kacau. Seorang guru bantu terlihat lelah ketika harus berbicara keras - keras karena hampir semua murid berbicara sendiri sendiri. Saya teringat cerita dari wali kelas kalau guru bantu tersebut sampai mau muntah karena dia tidak kuat ketika harus bicara teriak - teriak sepanjang jam pelajaran. Bahkan ketika guru bantu itu pamitan karena hari ini adalah hari terakhir mengajar, murid - murid tetap saja tidak mendengarkan. 
Setelah guru itu keluar, kami memulai "acara" pagi ini. Awalnya mereka masih cengengesan, tapi ketika permenungan dimulai, satu persatu dari mereka "tumbang". Air mata dan suara sesenggukan mulai menyapu kelas. Permenungan tentang orang tua dan guru membuat mereka terlihat tidak berdaya. Jam istirahat mereka tetap di dalam kelas. Saya meminta mereka mendengarkan suara - suara diluar kelas. 
Hampir dua jam mereka diam, mendengarkan kami bicara, menjawab pertanyaan dan "menikmati" sedikit bentakan dari suara saya. Sampai pada akhirnya, satu persatu dari mereka mengatakan ingin belajar lebih baik, disiplin dan tidak ramai lagi. Ketika saya bertanya apakah mereka mau untuk berjanji, mereka mengatakan mau. Lalu, saya meminta salah satu dari mereka untuk memanggil wali kelas. sehingga mereka semua mengatakan janji mereka di depan wali kelasnya.
Setelah akhir pelajaran hari ini, kami bertanya kepada guru berikutnya apa yang terjadi di kelas, guru tersebut menjawab kelas terlihat tenang dan mereka meminta maaf atas apa yang selama ini mereka lakukan. Beberapa guru lain juga mengatakan didatangi murid dari kelas tersebut dan meminta maaf.

Apakah ini berarti kami berhasil membuat kelas tersebut tenang?
Belum tentu, semuanya butuh proses. Butuh tenaga lebih dan kerjasama dari guru, murid - murid juga orang tua untuk membuat murid - murid mampu menjaga perilaku mereka. 

Jujur dalam diri saya muncul pertanyaan "apakah saya tidak terlalu keras dengan mereka?" karena teman saya pun mengatakan, dia juga merasa deg - degan selama saya memberikan "renungan". Entah terlalu keras atau tidak (bahkan mungkin mereka sekarang menilai saya sebagai frater yang sangat galak) tapi menurut saya kadang butuh sedikit "shock therapy" untuk membawa pada suatu perubahan. Saya selalu percaya, motivasi awal yang baik pasti akan membuahkan hal yang baik pula.
Saya tidak masalah disebut sebagai frater yang galak asal mereka mampu menyadari dan memperbaiki diri mereka.

Maafkan saya teman - teman...
Semoga kalian tumbuh menjadi manusia yang dapat memahami, mengerti dan mendengakan orang lain... 

30 Januari 2016


Sabtu, 02 Mei 2015

AKAR


-kepada Stefer-

Gelap merayap menutup senja
Gelegar teriakan alam , menerobos relung yang beku

Waktu terus berlari
Namun raga tetap diam,
      Tertumpu pada kerontang angan..

Pikir kembali pada pertama
Pada awal,
       saat "ada" mendorong pada sudut,
       yang membuat kaki tak mampu beranjak..
Sebongkah tatap itu menumbuhkan harap
Menguatkan akar yang perlahan mati

Namun..
Kilatan tatap itu terlalu dalam tertanam
meninggalkan sulur baru yang makin merambat
perlahan sulur itu menutup luka
      (yang mungkin juga akan menumbuhkan luka..)

Senja berpaling dan bertanya ,
      "Apakah waktu akan berpihak padamu?"
tidak ada jawaban, karena dalam diam, kata itu hanya samar...

Senja kembali berkata :
      "Ambil asa itu, karena mimpi tidak selalu bertemu dengan waktu..."

Gelap semakin pekat menyambut malam
membuatnya luluh, tunduk pada semu..




                                                                                 rewrite, 3 april 2015

Rabu, 04 Maret 2015

menghilang...

mendung terasa samar menggantung..
membawaku pada alur yang tidak menentu...

kembali aku pada satu kubangan yang bernama "entah"..

aku tidah menemukan jawab, dari sebuah tanya..
yang membuatku larut dalam bimbang

gumpalan cahaya perlahan pendar
menyusup pada celah - celah hati 


lalu aku menelusuri waktu dan  kembali ku pada tidak tahu..
karena ini adalah tentang aku dan kamu...



Kamis, 29 Januari 2015

SIM (Surat Ijin Melas)

Awalnya,  saya mau emosi dengan apa yang saya alami, tapi ya sudahlah..

Hari ini untuk ke empat kalinya, saya ke Polres untuk mengurus SIM. 
Sudah hampir 14 tahun, saya memakai sepeda motor roda tiga tapi belum mempunyai SIM.

 Dulu dengan motor saya yang pertama (mau sombong saja sudah berganti motor beberapa kali hehehe), saya mencari SIM. Tapi seperti benang kusut yang tidak terurai saya di pingpong sana sini oleh para sahabat masyarakat dan tidak berujung. Akhirnya saya nyerah, tidak nyari lagi. Eman - eman hati saya kalau harus emosi.
Liburan ini saya tiba2 berkeinginan untuk mempunyai SIM. Bukankah warga negara yang baik harus taat peraturan? Nah bersama bapak, bertanyalah kami ke Polres. Katanya untuk difabel ada SIM khusus yaitu SIM D. Langkah pertama yang harus saya lakukan adalah mendapatkan surat keterangan dokter dan ini HARUS didapatkan di RS Bayangkara kalasan.
Jauh bos, dari kampung ke sana. Tapi demi SIM idaman saya berangkat, saya berpikir mungkin akan ada pemeriksaan khusus.Esok harinya kami berangkat ke RS yang dimaksud. Sampai di sana dokternya malah bingung kok jauh - jauh nyari surat dokternya (nah lohh). Saat itu juga tanpa harus repot nungging telentang koprol, saya langsung dikasih surat dokternya.
Setelah dapat surat dokter langsung menuju ke Polres. Ngantri sampai jam 5 sore. Pada saat giliran saya, saya diminta untuk datang lagi karena ada salah melingkari pilihan SIM. Ya sudah saya pulang.
Karena setelah liburan banyak hal yang harus dilakukan, baru seminggu yang lalu saya datang lagi ke Polres. Saya diterima dengan sangat baik. Basa - basi sebentar kemudian di foto (nyesel banget ketika foto tidak senyum 3 jari). Setelah itu tes tertulis.
Selesai tes tertulis saya diminta ke Polres lama untuk ujian praktek. Sampai disana ada teman - teman difabel yang juga sedang mencari SIM. Ternyata mereka sedang ada pembuatan SIM kolektif.
Motor yang saya pakai dilihat oelh para penge-tes. Belum juga tes muter - muter, atau ngerem - ngerem, saya diminta datang seminggu kemudian karena di atas roda ketiga belum ada lampu (agak susah membayangkan ya? maap). Tes akan dilakukan kalau sudah ada lampunya hmmm.. saya sudah mulai emosi..

Pulang kerumah tanpa babibu bapak langsung bawa motor ke bengkel untuk dipasang lampu. Mungkin tindakan bapak ini tersulut karena nada bicara saya yang sudah mulai emosi, sehingga dengan memasang lampu itu bapak seperti ingin berkata "santai dek, turuti wae kekarepane.. " (mulai dramak).

Hari ini tadi dengan lampu yang sudah bertengger di atas atas roda (seperti bisul diatas mata) saya datang ke Polres. Sampai di sana nunggu sekitar 45 menit. Saya tidak sendiri, teman - teman difabel yang bertemu sebelumnya juga datang lagi. Bapak sahabat masyarakat yang menguji juga sama dengan sebelumnya. kami kemudian di berikan penjelasan tentang tes yang harus kami lakukan.
Halooooo soal lampu diatas roda tidak ditanya sama sekaleeeeeee.....

Disela rintik - rintik hujan yang mulai membasahi bumi (apa sih) kami melakukan tes. Sekitar jam 11 ujian selesai. Saya berharap yang terdengar kemudian adalah  kata - kata , "sekarang kita mengambil SIM". ternyata tidak, yang keluar adalah kata - kata "hari ini selesai, hari sabtu minggu depan datang lagi.. ".. Dueeerrrrrr langsung darah sampai ke ubun - ubun..

Maaf Bapak - bapak yang budiman. Saya ingin menjadi warga negara yang baik. Tapi saya bukan warga negara yang selo. Tidak usah kaget ketika mendengar saya kuliah. Tidak usah berpikir saya kuliah dimana, kok saya tinggal di asrama dan tidak membawa handphone. Sekarang saya sudah males je. Toh bertahun - tahun saya juga bisa sabar tidak punya SIM, jadi nggih sampun. Saya akan datang untuk hal - hal yang pasti saja. Pasti mengambil SIM misalnya hehehe...
Saya tidak menyalahkan njenengan, saya cuma emosi dengan prosedur yang repot seperti kalau saya susah buang air besar.
Padahal kalau tadi sudah dapat SIM, saya itu mau potong rambut trus selfie sambil bawa SIMnya lho.

Berbahagialah anda yang tidak repot bikin SIM, jujur kalau bisa nembak saya mending nembak saja. Toh saya yakin bapak simbok saya pasti mau mbayari anaknya yang ganteng ini. Tapi karena dulu tidak bisa , saya mencoba jalur yang benar. Hasilnya, saya harus saingan sama setrika, bolak - balik.
 Jadi pemirsa, maafkan saya kalau pada akhirnya saya tidak menjadi warga negara yang baik karena tidak mempunyai Surat Ijin Mengemudi. Saya Males kalau harus bersikap Melas .....

Sabtu, 13 Desember 2014

ini adalah malam minggu...

yap ini adalah malam minggu, diluar hujan dan sekarang saya berada di ruang komputer.  biasalah buka FB, twitter . Maap saya tidak kenal instragram, line dan teman temannnya,  hape saja nggak punya gimana mau buka instagram, line, WA ahh itu cuma terjadi ketika liburan saja :D Tapi ada kegiatan lain sih selain buka social media. Beberapa hari ini setiap kali buka internet saya selalu tergoda dengan barang - barang yang dijual on line. cuma liat - liat doang, beli juga nggak, takut nggak dikirim. 
Yang berbeda malam ini adalah apa yang saya dengarkan. Malam ini tiba - tiba nuansa advent (masa persiapan natal) terasa dalam hati dengan lagu - lagu nuansa natal yang saya dengar. Ini adalah ke tiga kalinya saya merasakan natal di masa formatio. 
Dulu sebelum saya memilih di sini, masa seperti ini sudah mulai menyusun jadwal job nyanyi maupun MC. Kalau sekarang adalah mencari - cari acara mau ngapain liburan Natal. Sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan. Salah satunya ikut bertugas di Gereja - Gereja katolik (kami menyebutnya asistensi di Paroki), seperti yang diakukan teman - teman yang lain. Tapi tetap saja saya tidak mengambil tugas itu. Bukan karena malas sebenarnya (itu alasan yang selalu saya katakan), tapi hati saya mengatakan "belum saatnya". 
Lalu kapan? 
Segera  !!!! hehehhe...

Kamis, 11 Desember 2014

ada ego, ada tanggung jawab tapi masih ada akal...

yaappp masih tentang memenangkan ego atau tanggung jawab...
kemarin sore akhirnya saya menemui Rama Rektor. Beliau yang biasanya "sangar" entah kenapa kemarin terlihat "sangat menyenangkan". Beliau mendengarkan setiap kalimat saya tanpa emosi berlebih dan ketika saya mengatakan

 " mo boleh tidak, saya memenangkan ego saya. Saya besok pagi tidak mau ikut ujian, saya mau mengulang kuliah ini tahun depan.."
Saat itu saya sudah siap untuk mendengar kotbah panjang lebar dan siap untuk "gontok2an". Tapi apa yang disampaikan rama justru sebaliknya.Rama Rektor mengijinkan saya untuk tidak ikut ujian, menghormati keputusan saya termasuk menerima konsekuensi dari komunitas ataupun staf. Kalau istilahnya beliau, "kamu sudah siap dengan segala penilaian tentang kamu yang akan kamu terima". beliau tidak akan membenarkan saya ataupun menyalahkan saya kalau masalah ini di bawa dalam rapat staf, tapi akan mengatakan apa adanya yang sudah saya katakan.
Namun romo kemudian memunculkan satu kata yaitu akal.

"Akalmu saat ini berbenturan dengan emosi yang lebih ingin kamu menangkan itu". "Kamu bisa merenungkan lagi, apa yang kamu dapat kalau memenangkan ego atau rasamu, dengan apa yang akan kamu dapat kalau kamu memenangkan akalmu".

Saat itu, saya mulai goyah tapi tetap pada pendirian  untuk tidak ikut ujian, memenangkan ego dan rasa. Obrolan berlanjut, sampai ketika saya pamit , Rama Rektor kembali bicara;

"Kalau tanganmu terkena pisau, teman angkatamu tidak bingung po?tidak ikut merasa sakit po? terus kalau kamu besok tidak ikut ujian mereka tidak merasa sakit po?"

Kalimat Rama itu, membuat badan saya tiba - tiba lemas (ok saya mulai menahan air mata ketika menuliskan bagian ini..). Saya lupa bahwa ada "keponakan-keponakan" di angkatan yang sekuat tenaga menjaga saya. Saya tidak peduli apakah mereka akan ikut tersakiti atau tidak kalau saya tidak ikut ujian, tapi saya merasa saya masih memiliki mereka untuk mengatakan setiap ketidaknyamanan saya. 
Setelah itu saya minta waktu satu malam untuk memikirkan keputusan saya. Beliau berkata " Aku dari pagi pergi, mimpin misa pagi terus ke muntilan sampai siang. Kalau kamu berubah pikiran, letakkan surat untuk aku tandatangani di depan pintu. Aku akan menyempatkan diri pulang sebentar."
Dan akhirnya, saya baru saja selesai ujian, lumayan lancar walaupun baru belajar tadi pagi setelah mengambil lagi surat yang saya letakkan di depan kamar Rama Rektor. Hari ini saya kembali mengalahkan ego saya untuk sebuah permenungan bahwa saya tidak sendiri..

ok Now, I'm cry......

Rabu, 10 Desember 2014

bolehkah saya memilih ego?

Beneran..
Emosi tadi malem masih kebawa sampai pagi ini. Gara-garanya adalah paper untuk ujian yang terlambat dikumpulkan oleh teman satu kelompok. Yang bikin gondok setengah hidup adalah saya harus ikut bertanggung jawab atas ketedorannya. Paper itu sudah selesai satu minggu yang lalu. File di laptop dia, sudah diingatkan untuk mengumpulkan pada waktunya tapi tidak dikumpulkan tanpa alasan apapun!
Dosen memperbolehkan kami ikut ujian asalkan masing2 anggota kelompok mendapatkan tanda tangan atau semacam surat rekomendasi dari rama rektor (rama pemimpin asrama). Saya mungkin tidak bijak ketika mengatakan "kok saya harus ikut bertanggung jawab atas kesalahannya?!" tapi itu harus saya katakan. Saya benar - benar ingin memenangkan ego saya tapi saya harus berbenturan dengan "tanggung jawab" atas perutusan saya untuk kuliah. 
Kalau penderitaan orang lain sudah kewajiban setiap manusia untuk ikut menanggungnya sebagai bentuk belarasa, tapi kesalahan? Opo yo harus ikut menanggungnya? Apa ya saya harus merefleksikan ini seperti Yesus yang ikut menanggung dosa manusia? ckckckckkck berlebihan sekali saya.. 
Sebenarnya bukan hal yang sulit untuk bertemu rama rektor dan meminta tanda tangan. Paling cuma siap - siap saja kuping panas, tapi ini soal haruskah saya menekan rasa saya? Saya seperti harus mengakui sebuah kesalahan yang tidak saya lakukan. OKlah saya frater yang harus belajar untuk bijaksana, tapi bukankah bijaksana itu harus tumbuh dari hati, tidak ada tekanan dan tulus... Saat inipun saya jadi mikir, bijak atau tidak, saya nulis ini di blog.. ahhh terserahlah mau dianggap bijak atau tidak...
entah akhirnya apa yang akan saya menangkan. Saya masih punya waktu seharian ini. kalau saya menagkan ego berarti saya tidak ikut ujian, kalau saya menangkan tanggung jawab berarti saya harus menekan perasaan (aiiihh kutu kupret dengan rasa!). Tapi apapun yang nanti akan saya pilih , saya tetap akan berada di tempat yang tidak nyaman...
sekarang jadi tahu kan, kalau frater itu masih semacam manusia biasa ? :D