Sabtu, 13 Desember 2014

ini adalah malam minggu...

yap ini adalah malam minggu, diluar hujan dan sekarang saya berada di ruang komputer.  biasalah buka FB, twitter . Maap saya tidak kenal instragram, line dan teman temannnya,  hape saja nggak punya gimana mau buka instagram, line, WA ahh itu cuma terjadi ketika liburan saja :D Tapi ada kegiatan lain sih selain buka social media. Beberapa hari ini setiap kali buka internet saya selalu tergoda dengan barang - barang yang dijual on line. cuma liat - liat doang, beli juga nggak, takut nggak dikirim. 
Yang berbeda malam ini adalah apa yang saya dengarkan. Malam ini tiba - tiba nuansa advent (masa persiapan natal) terasa dalam hati dengan lagu - lagu nuansa natal yang saya dengar. Ini adalah ke tiga kalinya saya merasakan natal di masa formatio. 
Dulu sebelum saya memilih di sini, masa seperti ini sudah mulai menyusun jadwal job nyanyi maupun MC. Kalau sekarang adalah mencari - cari acara mau ngapain liburan Natal. Sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan. Salah satunya ikut bertugas di Gereja - Gereja katolik (kami menyebutnya asistensi di Paroki), seperti yang diakukan teman - teman yang lain. Tapi tetap saja saya tidak mengambil tugas itu. Bukan karena malas sebenarnya (itu alasan yang selalu saya katakan), tapi hati saya mengatakan "belum saatnya". 
Lalu kapan? 
Segera  !!!! hehehhe...

Kamis, 11 Desember 2014

ada ego, ada tanggung jawab tapi masih ada akal...

yaappp masih tentang memenangkan ego atau tanggung jawab...
kemarin sore akhirnya saya menemui Rama Rektor. Beliau yang biasanya "sangar" entah kenapa kemarin terlihat "sangat menyenangkan". Beliau mendengarkan setiap kalimat saya tanpa emosi berlebih dan ketika saya mengatakan

 " mo boleh tidak, saya memenangkan ego saya. Saya besok pagi tidak mau ikut ujian, saya mau mengulang kuliah ini tahun depan.."
Saat itu saya sudah siap untuk mendengar kotbah panjang lebar dan siap untuk "gontok2an". Tapi apa yang disampaikan rama justru sebaliknya.Rama Rektor mengijinkan saya untuk tidak ikut ujian, menghormati keputusan saya termasuk menerima konsekuensi dari komunitas ataupun staf. Kalau istilahnya beliau, "kamu sudah siap dengan segala penilaian tentang kamu yang akan kamu terima". beliau tidak akan membenarkan saya ataupun menyalahkan saya kalau masalah ini di bawa dalam rapat staf, tapi akan mengatakan apa adanya yang sudah saya katakan.
Namun romo kemudian memunculkan satu kata yaitu akal.

"Akalmu saat ini berbenturan dengan emosi yang lebih ingin kamu menangkan itu". "Kamu bisa merenungkan lagi, apa yang kamu dapat kalau memenangkan ego atau rasamu, dengan apa yang akan kamu dapat kalau kamu memenangkan akalmu".

Saat itu, saya mulai goyah tapi tetap pada pendirian  untuk tidak ikut ujian, memenangkan ego dan rasa. Obrolan berlanjut, sampai ketika saya pamit , Rama Rektor kembali bicara;

"Kalau tanganmu terkena pisau, teman angkatamu tidak bingung po?tidak ikut merasa sakit po? terus kalau kamu besok tidak ikut ujian mereka tidak merasa sakit po?"

Kalimat Rama itu, membuat badan saya tiba - tiba lemas (ok saya mulai menahan air mata ketika menuliskan bagian ini..). Saya lupa bahwa ada "keponakan-keponakan" di angkatan yang sekuat tenaga menjaga saya. Saya tidak peduli apakah mereka akan ikut tersakiti atau tidak kalau saya tidak ikut ujian, tapi saya merasa saya masih memiliki mereka untuk mengatakan setiap ketidaknyamanan saya. 
Setelah itu saya minta waktu satu malam untuk memikirkan keputusan saya. Beliau berkata " Aku dari pagi pergi, mimpin misa pagi terus ke muntilan sampai siang. Kalau kamu berubah pikiran, letakkan surat untuk aku tandatangani di depan pintu. Aku akan menyempatkan diri pulang sebentar."
Dan akhirnya, saya baru saja selesai ujian, lumayan lancar walaupun baru belajar tadi pagi setelah mengambil lagi surat yang saya letakkan di depan kamar Rama Rektor. Hari ini saya kembali mengalahkan ego saya untuk sebuah permenungan bahwa saya tidak sendiri..

ok Now, I'm cry......

Rabu, 10 Desember 2014

bolehkah saya memilih ego?

Beneran..
Emosi tadi malem masih kebawa sampai pagi ini. Gara-garanya adalah paper untuk ujian yang terlambat dikumpulkan oleh teman satu kelompok. Yang bikin gondok setengah hidup adalah saya harus ikut bertanggung jawab atas ketedorannya. Paper itu sudah selesai satu minggu yang lalu. File di laptop dia, sudah diingatkan untuk mengumpulkan pada waktunya tapi tidak dikumpulkan tanpa alasan apapun!
Dosen memperbolehkan kami ikut ujian asalkan masing2 anggota kelompok mendapatkan tanda tangan atau semacam surat rekomendasi dari rama rektor (rama pemimpin asrama). Saya mungkin tidak bijak ketika mengatakan "kok saya harus ikut bertanggung jawab atas kesalahannya?!" tapi itu harus saya katakan. Saya benar - benar ingin memenangkan ego saya tapi saya harus berbenturan dengan "tanggung jawab" atas perutusan saya untuk kuliah. 
Kalau penderitaan orang lain sudah kewajiban setiap manusia untuk ikut menanggungnya sebagai bentuk belarasa, tapi kesalahan? Opo yo harus ikut menanggungnya? Apa ya saya harus merefleksikan ini seperti Yesus yang ikut menanggung dosa manusia? ckckckckkck berlebihan sekali saya.. 
Sebenarnya bukan hal yang sulit untuk bertemu rama rektor dan meminta tanda tangan. Paling cuma siap - siap saja kuping panas, tapi ini soal haruskah saya menekan rasa saya? Saya seperti harus mengakui sebuah kesalahan yang tidak saya lakukan. OKlah saya frater yang harus belajar untuk bijaksana, tapi bukankah bijaksana itu harus tumbuh dari hati, tidak ada tekanan dan tulus... Saat inipun saya jadi mikir, bijak atau tidak, saya nulis ini di blog.. ahhh terserahlah mau dianggap bijak atau tidak...
entah akhirnya apa yang akan saya menangkan. Saya masih punya waktu seharian ini. kalau saya menagkan ego berarti saya tidak ikut ujian, kalau saya menangkan tanggung jawab berarti saya harus menekan perasaan (aiiihh kutu kupret dengan rasa!). Tapi apapun yang nanti akan saya pilih , saya tetap akan berada di tempat yang tidak nyaman...
sekarang jadi tahu kan, kalau frater itu masih semacam manusia biasa ? :D